Label
- APLIKASI PENDIDIKAN (2)
- IKAMAH JANAPRIA (6)
- PENDIDIKAN (11)
- PERANGKAT PEMBELAJARAN (2)
- RELIGI (1)
INFORMASI SISWA
Selasa, 16 September 2014
PENDIDIKAN INDONESIA
PENDIDIKAN INDONESIA
“NATION AND CHARACTER BUILDING”
“NATION AND CHARACTER BUILDING”
1.
158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang
2004-2011
2.
42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu
2008-2011
3.
30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus
suap pemilihan DGS BI
4.
Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti
KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM
*)Sumber : Litbang Kompas
Sekolah
mestilah mencerdaskan dan mencerahkan anak didik. Dulu-dulu kita sangat
menyakini hal itu.Tetapi beberapa kejadian akhir-akhir ini seperti merontokkan
keyakinan itu. Sebut saja kejadian pemukulan dan tawuran antar pelajar dan
kasus pemecatan 19 mahasiswa karena gambar palu-arit di kampus Universitas
Negeri Makassar (UNM), ditambah lagi dengan fakta dan data hasil output
pendidikan kita yang telah sukses dalam mencetak koruptor-koruptor handal di
negeri ini, mencetak manusia-manusia pasar yang orentasinya hanya kepentingan
pribadi dan uang, manusia yang tidak lagi memiliki moral dan menindas sesama.
Semua
ini menegaskan satu hal kepada kita bahwa baik orang-orang yang berkecimpung
dalam dunia terdidik maupun orang-orang yang dihasilkan dunia pendidikan kita
telah jauhh dari apa yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini, kebanyakan
dari kita tak lagi bisa berfikir secara logis dan ilmiah, namun lebih mendahulukan
amarah, nafsu menguasai, mengeksploitasi sesama, dan keserakahan dalam berintraksi
dan mengatasi persoalan-persoalan social.
Pantaslah
kemudian Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu bukunya menyindir dan sekolah
dan perguruan tinggi sebagai pendidikan formal dan mesin pencetak
sarjana-sarana yang di dalamnya banyak berisi produk kapitalis yang siap
menjajah dan melahap kembali bangsa ini, seperti yang diungkapkan dalam
pernyataannya: “Jangan Tuan terlalu
percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan
bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip.
Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya”. (Pramoedya Ananta
Toer).
Demikianlah,
pentingnya pendidikan karakter ini diterapkan di lingkungan sekolah, maupun
lingkungan keluarga dan masyarakat, dan menjadi tanggungjawab kita bersama
terutama pelaku pendidikan untuk bisa mewujudkan itu.
Karena
sudah jelas dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan kita
bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lalu,
dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional disebutkan pula, bahwa
“pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa….”
Di
jaman Bung Karno, pendidikan malah menjadi alat penting dalam proyek “nation and character
building”. Soekarno pun kemudian merumuskan Fungsi Pndidikan Nasional sebagai
Alat Revolusi untuk Mencapai Lima Hal: Manusia Indonesia Baru yang berjiwa
Pancasila-Manipol/Usdek dan sanggup berjoang untuk mencapai cita-cita tersebut,
manpower yang cukup untuk melaksanakan pembangunan, kepribadian Kebudayaan
Nasional yang luhur, ilmu dan teknologi yang tinggi, dan pergerakan massa
aksinya seluruh kekuatan rakyat dalam pembangunan dan Revolusi.
Sudah
sejak jaman pergerakan, pendidikan dan sekolah menjadi alat perjuangan. Disnalah
kaum pergerakan (terpelajar) menyemai semangat nasionalisme dan
anti-kolonialisme, membangkitkan kepercayaan diri rakyat terperintah, dan
melahirkan kader-kader handal untuk perjuangan.
Pendek
kata, para penganjur pendidikan di jaman pergerakan menginginkan agar
pendidikan menjadi sarana—meminjam istilah Multatuli—“memanusiakan manusia”. Semangat ini melengket terus pada pemikiran
para pemimpin bangsa di republik pertama.
Tetapi,
jika kita melihat sistem pendidikan nasional sekarang, semangat itu sudah tidak
ada sama sekali. Pemerintah telah menyerahkan pendidikan kepada pasar dan
pemerintah hanya berperan minimal. Akibatnya, pemerintah bukan saja kehilangan
kontrol tentang bagaimana pendidikan bisa diakses seluruh rakyat dengan gratis,
tetapi bahkan pemerintah tidak bisa lagi memastikan pendidikan itu punya muatan
nilai-nilai.
Pendidikan
nasional kita dibanjiri oleh teori-teori impor dari barat. Karena diserahkan
kepada mekanisme pasar, maka logika penyelenggaraan pendidikan kita juga
bertumpu kepada profit. Sedangkan kurikulum pendidikan dirancang sesuai dengan
kebutuhan pasar tenaga kerja.
Sebagai
contoh sampai saat ini kita masih di cakoki dengan teori-teori ekonomi
kapitalis, dengan hokum ekonomi yang mengisyuaratkan kita dengan prinsif “modal
yang sekecil-kecilnya untuk mendapat laba yang sebesar-besarnya” sehingga
dengan segala cara kita akan menjalankan teori tersebut dalam praktek ekonomi
kita sehari-hari, walaupun dilain pihak harus memakan dan menindas manusia yang
lainnya. Padahal dalam Islam Rasulullah telah mengajarkan bagaimana kita
berniaga yang baik.
Kita
sudah tidak lagi berfikir bagaimana mencejahterakan sesama, tetapi lebih dari
itu kita sudah lebih bersifat individualistic semata, dan itu adalah hasil
pendidikan kita selama ini.
Lebih
miris lagi, atas nama dunia yang ter-globalisasi, bahasa Indonesia secara
perlahan-lahan mulai terusir dari sekolah-sekolah kita. Menguasai banyak bahasa
asing memang bagus, tetapi jika tak mengusai bahasa bangsa sendiri—bahasa
tempat kaki kita berpijak—maka itu sama saja membiarkan bangsa kita mati.
Kondisi
bahasa daerah kian lebih parah lagi. Ia dianggap tak lagi penting untuk
diajarkan di sekolah-sekolah.
Pendidikan
di jaman neoliberal bisa saja menghasilkan banyak sarjana, doktor, dan
professor, tetapi diantara mereka sangat sedikit yang punya dedikasi terhadap
kemanusiaan dan bangsanya.
Oleh karena itu, pembangunan mental sebagai salah satu aspek
dalam pendidikan tidak bisa ditinggalkan. Orang bisa saja mengusai teknologi
canggih, tetapi jika ilmunya tidak diabdikan kepada rakyat dan bangsa, maka itu
sama saja dengan kesia-siaan.
Dengan demikian, mari kita sebagai generasi muda ilmiah, yang
setiap hari bergelut dengan buku, berbenah, bongkar kebiasaan lama, bila perlu
hancurkan, bangun kebiasaan baru dalam dunia pendidikan kita, wujudkan
pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis. Menuju Indonesia yang lebih baik.
REVOLUSI PENDIDIKAN juga minta thinking and re-thinking
…..bukan saja berfikir, membentuk
…..dan jikalau perlu re-shape
Kalau ini salah, buang ganti dengan bentuk baru.
Disampaikan dalam:
Diskusi Ilmiah
Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GsnI)
Cab. Lombok Tengah
Label:
IKAMAH JANAPRIA,
PENDIDIKAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Populer
- DOWNLOAD GRATIS MODUL FISIKA SMK KELAS X, XI DAN XII
- BUKU PELAJARAN FISIKA SMA UNTUK KELAS XI
- APLIKASI PENGOLAHAN NILAI GURU KURIKULUM 2013
- APLIKASI RAPORT KURIKULUM 2013
- DOWNLOAD PRANGKAT PEMBELAJARAN FISIKA GRATIS
- RENUNGAN TAHUN BARU 2013 MENURUT ISLAM
- PELATIHAN ORGANISASI DAN OUTBOUND OSIS TINGKAT SMA, MA DAN SMK SE-KECAMATAN JANAPRIA
- IKAMAH SUKSES JALANKAN PROGRAM UJI VISI MISI CALON KEPALA DESA DI KECAMATAN JANAPRIA
- PENGUMUMAN HASIL SELEKSI CPNS KLU TAHUN 2013
- IKAMAH JANAPRIA GELAR DISKUSI DAN BUKA BERSAMA
0 komentar:
Posting Komentar